oleh

PK Ojong- Jakob Oetama Mengutamakan Watak Baik dalam Menerima Karyawan

JAKARTA – Bercerita tentang dua tokoh pers ini, sulit menceritakan secara terpisah karena selama memimpin Harian Kompas keduanya selalu bersama-sama.

Keduanya tokoh inspiratif, cocok untuk diteladani oleh para pengusaha pers muda.

Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kritanto ketika diundang menjadi pembicara utama dalam menyambut Hari Ulang Tahun Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) ke-4, pada 7 Maret 2021 di Gedung SMSI Jakarta Press Club, menyampaikan sekilas keteladanan dan gaya kepemimpinan Ojong-Jakob dalam mengelola Harian Kompas.

Cerita tentang Ojong-Jakob ditampilkan di acara ini untuk menjadi inspirasi bagi para pengusaha pers siber yang tergabung dalam SMSI

Nama lengkap kedua tokoh pers tersebut adalah Petrus Kanisius (PK) Ojong (1920- 1980). Ojong, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat 25 Juli 1920, ayahnya bernama Auw Jong Pauw, pedagang tembaku di Payakumbuh. Ibunya Njo Loan Eng Nio. Kedua orangtuanya memberi nama Auw Ojong Peng Koen yang kemudian menjadi PK Ojong.

Jakob lahir di Desa Jowahan, sekitar 500 meter sebelah timur candi termegah Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.

Mereka bertemu di Jakarta dan kemudian bersama-sama mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas.

Mereka bersepakat berbagi tugas dalam memimpin Harian Kompas.

Ojong menangani administrasi/tata usaha dan bisnis, Jakob Oetama (1931- 2020) menangani bidang keredaksian.

Meskipun Ojong menangani bisnis pers, dia tidak bisa meninggalkan naluri kewartawanannya. Dia kadang-kadang masih menulis Tajuk Rencana, dan mengelola rubrik Kompasiana yang terkenal, membahas berbagai persoalan di Harian Kompas.

Baca Juga  Di Solo, Muzani hingga Cawapres Gibran Silaturahmi dengan Habib Jindan dan Habib Ali Kwitang

Dalam dunia perusahaan pers, bidang bisnis dan redaksi sama pentingnya, walaupun ada semacam garis demarkasi di antara kedua bidang itu.

Kedua bidang tersebut di tangan kedua tokoh ini, Kompas berkembang pesat.

Ojong-Jakob seperti dua sisi keping mata uang. Keduanya berjalan dalam satu ayunan langkah, sama-sama punya latar belakang guru  dan wartawan.

Keduanya tidak suka tampil, rendah hati, jujur, dan bekerja tuntas. Kemiripan atau kesamaan keduanya mengikat diri mereka mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas.

Tahun 1940 setelah lulus sekolah guru Hollandsch Chineesche Kweekschook (HCK) di Jatinegara, Jakarta, Ojong menjadi guru sekolah dasar berbahasa Belanda yaitu Hollandsch Chineesche Broederschool St Johannes Berchmans di Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat (sekarang Sekolah Budi Mulia).

Sementara Jakob juga menjadi guru sejarah di beberapa sekolah di Jakarta sambil menjadi redaktur di Majalah Penabur.

Ojong  tahun 1951 sudah menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Star Weekly, merangkap di surat kabar Keng Po.

Star Weekly dan Keng Po berkantor di sebuah ruangan 11 x 5 meter di lantai 2, Jalan Pintu Besar Selatan 86- 88, Jakarta.

Pada tahun 1958, pertama kali Jakob bertemu Ojong yang saat itu menjadi redaktur Keng Po dan Harian Star Weekly. Jakob ingin belajar pada Ojong.

Baca Juga  Tokoh inspiratif SMSI: Adam Malik, PK Ojong-Jakob Oetama, Hamka, Fachrodin

Namun Mingguan Star weekly keburu dibredel 11 Oktober 1961 menyusul Keng Po yang lebih dulu diberangus karena dinilai kritiknya terlalu pedas pada pemerintah.

Dari pertemuan berikutnya keduanya sepakat mendirikan Majalah Intisari pada 17 Agustus 1963. Belum sampai dua tahun Intisari berdiri, keduanya mendirikan Harian Kompas 28 Juni 1965.

Dalam perjalanan mengelola Intisari dan Kompas keduanya berbagi tugas. Mereka tidak suka tampil. “Tapi karena saya membidangi redaksi, mau tidak mau harus tampil,” kata Jakob.

Di Intisari dan Harian Kompas, kedua tokoh meletakkan fondasi idealisme, menjunjung tinggi nilai manusia dan kemanusiaan.    Meletakkan filosofi dalam pengembangan perusahaan pers.

Dalam merekrut wartawan/karyawan Ojong mengutamakan “watak baik” daripada keterampilan atau skill yang dimiliki calon karyawan.

Seperti dikutip dalam buku 50 Tahun Kompas Gramedia Mengembangkan Indonesia Kecil (Penerbit Buku Kompas, 2013), Jakob menceritakan, Ojong dalam penerimaan karyawan baru atau promosi jabatan ke tingkat lebih tinggi, selalu mengutamakan watak yang baik, jujur, sederhana, rajin, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang dan adil dalam memperhatikan anak buah, pandai membantu pekerjaan pada para pembantunya, dan pandai pula mengawasinya. Kecerdasan, kepandaian, dan masa kerja adalah syarat berikutnya

Kekurangan keterampilan bisa ditingkatkan melalui pelatihan, pendidikan, dan kursus.

Ojong dan Jakob sendiri punya karakter hidup sederhana, rendah hati, bertanggung jawab dan bekerja tuntas, dan suka membantu. Jakob menyebut Ojong sebagai manusia amal.

Baca Juga  Sekjen Gerindra Serahkan Dana Bantuan Hasil Lelang Sapi Miliknya ke Baznas untuk Palestina

P.K. Ojong meyakini plain living, high thinking (hidup sederhara, berpikir mulia).

Kesederhanaan Ojong dan Jakob membuat para wartawan/karyawan atau yang sudah menjadi pejabat di Harian Kompas tidak berani membeli atau membawa ke kantor mobil bermerek terkenal sebagai simbol kemewahan.

Maka sulit mencari merek mobil tertentu yang menjadi simbol kemewahan di lokasi parkir di Kompas, kecuali mobil milik tamu.

Meskipun demikian Ojong selalu memikirkan nasib karyawannya.

“Karyawan menginvestasikan hidupnya pada perusahaan. Jadi perusahaan juga harus memikirkan jaminan masa tua mereka” kata Ojong.

Dalam menjamin masa depan karyawan, pimpinan Kompas itu mengembangkan bisnisnya ke penerbit dan toko buku Gramedia, dan dunia perhotelan yang diberi nama Santika. Tujuannya, kalau Kompas diberangus, karyawan masih ada tempat bekerja.

Ada pesan penting dari Ojong untuk para pengelola perusahaan. Menurut dia, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang dapat menjamin kesejahteraan para karyawannya, selain perusahaan yang pemimpinnya tidak onmisbaar.

“Artinya kalau pemimpin-pemimpin itu tidak ada lagi, perusahaannya harus bisa berjalan tanpa mereka. Jadi perlu disusun suatu sistem untuk memungkinkan hal itu, dan membentuk kader-kader pengganti para pemimpin yang lama,” tulis Helen Ishwara  menjelaskan dalam buku tersebut. (**)